MENYOAL ‘KEGAGALAN’ PADA DIRI KITA


 Oleh : Mohammad Ainun Najib (Aktivis IPNU)

Bismillah, Memulai sebuah penyampaian, yang akan saya sampaikan kepada anda adalah bahwa anda adalah seorang mahluk yang katanya sangat mulia dibanding dengan mahluk yang lainya, yang kita menyebut diri kita sebagai manusia. Namun sebagai manusia kita gagal dalam mengaktualisasikan kemanusiaan kita. Maksut saya, kita tidak terlalu berhasil atau bahkan tidak berhasil dalam mengaktualisasikan kemanusiaan kita. Anda tahu diatas sana para malaikat sedang berguman lirih pada tuhan “apa kubilang, manusia bisanya hanya bikin rusak, onar, dan keributan”
Seorang bijak mengatakan “orang yang benar-benar bijaksana tak perlu mengaris-bawahi kebijaksanaannya dengan usaha-usaha lahiriyah”
Sebagai individu, kita gagal memahami bahwa musuh terbesar kita adalah ego kita, keinginan kita menggebu-ngebu. Setiap dari kita kurang memahami bahwa manusia yang baik adalah manusia yang berusaha dan ingin agar dirinya tidak punya keinginan, dalam filsafat jawa kondisi tersebut disebut Suwung.
Kebiasaan kita sebagai pribadi selalu dan selalu memanjakan nafsu dan ego kita, paradigma yang kita pakai adalah “aku akan melakukan ini supaya dia (rakyatku, pemimpinku, kiaiku,atasanku) tahu bahwa aku ini manusia prospektif, bisa diandalkan” Paradigma semcam itu anda tahu sangat-sangat berbahaya bagi kesehatan ekosistem hidup dan kehidupan kita, toh kata Arysio Santos kita semua bangsa Indonesia adalah orang jawa, nenek moyang kita adalah founder the mother of civilization, pemilik puncak peradaban. Bagi orang jawa paradigma yang dipakai adalah, “sepi ing pamrih rame ing gawe”. Bekerja, berbuat baik hanya karena memang itu adalah tugas kita di dunia ini, Fabidzalika umirtu.
Kenapa ada banyak partai dinegeri kita ini ? toh hanya untuk meraih satu tujuan yakni Indonesia yang demokratis, apakah visi misi mereka tidak sama ? bukankah NASAKOM-nya Bung karno sudah habis ? bukankah tangan besinya Soeharto sudah lapuk ? kita ini hidup di zaman yang katanya demokratis tetapi terhadap diri sendiri saja kita sering tidak demokratis, nafsu sering mengalahkan akal kita padahal dalam anatomi demokrasi setiap organ harus diberi kesempatan yang sama, anda tahu ternyata banyaknya partai dinegeri ini adalah imbas dari sifat kekanak – kanakan kita yang selalu dan selalu merasa kapabel dan ingin menjadi pemimpin diberbagai skala, baik negara, kabupaten, kota, ataupun desa (di desa juga banyak partai untuk hanya sekedar memilih lurah). Jadi hanya dalam sebua rumah tangga, egoisme memimpin tidak menjadi sesuatu yang mengejala (mungkin kurang menarik toh menjadi pemimpin rumahtangga berarti ia mengembangkan kewajiban dan tanggung jawab sepenuhnya atas kelangsungan hidup keluarga, fasilitas dinasnya tidak ada) 
Sampai disini, sebagai individu kita gagal mendidik ego kita, kita tidak bisa memetakan dengan jelas mana yang lebih penting, hati nurani, akal budi, atau kelamin ? sehingga banyak urusan-urusan kita yang seharusnya ditangani oleh hati nurani atau juga akal budi dirampas dan dimanajemeni oleh kelamin kita.
Innalillah, kegagalan sebagai individu membuat kita (termasuk saya) gagal untuk membuat tatanan masyarakat yang Toto tentrem makmur kerto raharjo gagal untuk mendirikan sebuah masyarakat yang mandiri berbasis nurani dan akal budi, sehingga dari tatanan pengurus masyarakat kita (saya tidak memaknai kata pemerintah, mereka para pejabat tidak hanya pemerintah) mulai tingkat RT, RW, Camat, Bupati, walikota, gubernur, menteri, dan juga presiden hanya mementingkan kepentingan-kepentingan mandiri, kebijakan yang diambil pun kebijakan yang berbasis syahwat pribadi, kepentingan diri sendiri. Jika anda kurang percaya lihatlah beberapa partai yang ada di negeri ini, yang jadi fungsionaris partai tentu orang-orang yang tak jauh dari lingkungan “keluarga” pemimpin partai. Dari PDI-perjuangan (saya sengaja tidak menyikat kata perjuangan menjadi P saja karena kata Almukarromah Ibu Megawati, perjuangan memang tidak boleh singkat dan disingkat) pengurus partai tak keluar jauh-jauh dari keluarga soekarno, begitu juga dari Demokrat dan juga PKB.
Anda tahu, di tempat saya tinggal yang menjadi ketua RT adalah anak dari ketua RT kemarin, dan kalau dari pihak anak sudah habis maka barulah mencari sanak saudara, handai tolan, dan baru setelah habis mencari orang lain yang setidaknya tak jauh-jauh ama dari kelamin “visi-misi” – Nya. Maka ketika sekarang menjabat, para penjabat diam-diam dan gopoh menyiapkan dinasti kepemimpinanya, khawatir jika anak dan keluarganya tidak bisa maka dan hidup enak, dan ini hampir terjadi di setiap sendi lapisan masyarakat kita.
Alhamdulillah, kita lahir tidak di zaman masa-masa penjajah, kita lahir setelah negara kit “merdeka”, merdeka dalam arti secara lahiriah kita punya pemimpin dan pengatur roda kenegaraan sendiri, tapi secara filosofi, batiniah kita belum bisa dikatakan benar-benar merdeka kita adalah budak dari negara-negara adikuasa, kuli dari negara-negara tetangga, babu dari negara-negara sahabat. Memang kita tidak punya musuh (kecuali negara receh kelas malaysia, itupun pemimpin kita tidak berani memberikan lampu hijau untuk berperang denganya), ya kita memang tidak punya musuh karena semua negara adalah juragan kita. Kita terlalu baik, terlalu rendah hati sehingga selalu mengalah dalam segala bidang, dalam bidang ekonomi misalnya. Karena jiwa shadaqah kita sangat kuat maka kita berikan itu Freeport ke Amerika si juragan besar kita, minyak kita di Cepu kita jariahkan kepada Exxon Mobile, rakyat kita, kita ekspor besar-besaran keluar negeri agar mereka mau “ikhlas” menjadi babu dan pembantu rakyat-rakyat negara juragan kita.
Olahraga, karena kita sejak bangku SD diajari untuk tenggang rasa dan toleransi, selalu mengalah dan mendahulukan kepentingan orang lain atas kepentigan kita maka dalam sepakbola ilmu kita terapkan saja. Maka jika ada penyerang berada di kotak penalti kita, sebisa mungkin kita hindari untuk menghadangnya. Kita terlalu sopan sehingga dengan santai kita mempersilahkan penyerang tersebut untuk membobol gawang kita. Bagi negara, dalam olahraga kita tidak pernah kalah, kita hanya mengalah. Kata seseorang ustadz mengalah adalah sifatnya orang besar,karena dalam menelan kekalahan dibutuhkan mental yang kuat untuk menerimanya.
Anda tahu, andaikan kita pemuda-pemuda sekarang ini lahir pada tahun yang lalu, tepatnya tahun 1945 mungkinkah bangsa ini bisa merdeka dan mengusir penjajah ? Mental-mental tempe seperti kita ini sebetulnya tidak layak untuk dikasih kesempatan tuhan agar bisa mencicipi tanah surganya dunia yang bernama Indonesia. Syahdan ketika tuhan menciptakan surga, tidak sengaja surga tersebut bocor sebesar lubang jarum. Kebocoran tersebut turun ke bumi dan menjadikan ia seakan mendapatkan anugerah sebuah kamuflase surga bernama Indonesia, jadilah Indonesia cipratan surga.
Pemuda macam kita adalah pemuda yang punya semangat heroik, sama halnya dengan Nabi Ibrahim muda yang dengan gagah membawa sebilah kapak guna memenggal kepala-kepala berhala patahan azar ayahnya, tapi sayang ditengah-tengah perjalanan kita membelok arah dan menuju ladang-ladang fir’aun untuk membantu membajak sawahnya, kita adalah babu-babu fir’auniyyah abad sekarang, Wallahualam.


Artikel Terkait

Posting Komentar