Peran Pesantren dalam Mencetak Generasi Islam yang Unggul

 

Oleh : Ali Mursyid Azisi

Sebagai lembaga pendidikan yang tertua di Indonesia, pesantren telah melahirkan banyak sekali ulama yang juga melahirkan tokoh Islam. Prof. Dr. Mukti Ali mengatakan bahwasanya tidaklah ada ulama yang tidak dilahirkan dari pendidikan pesantren. Istilah pesantren merupakan berasal dari kata pe-“santri”-an, dalam bahasa jawa sendiri, kata santri diartikan sebagai murid. Sedangkan istilah dari pondok asal katanya dari bahasa Arab “Funduuq” yang memiliki arti penginapan. Kata pesantren ini umumnya dipakai di daerah Jawa, sedangkan di daerah Aceh memiliki nama tersendiri yaitu disebut dengan “dayah”. 
Dalam tulisan Imam Syafe’I yang bertajuk Pondok Pesantren: Lembaga Pendidikan Pembentukan Karakter, terdapat beberapa laoporan tentang pesantren tertua di Indonesia yaitu laporan dari Van Bruenessen mengatakan bahwa pesantren yang paling tua di pulai jawa merupakan pesantren Tegalsari yang berdiri pada 1742, disana tempat belajar agama Islam anak-anak pesisir utara. 
Lalu terdapat laporan kembali dari hasil survey yang dilakukan oleh Belanda pada tahun 1819, dalam Lembaga yang mirip pesantren telah ditemukan di daerah Surabaya, Rembang, Pekalongan, Priangan, Madiun dan Kedu. Menurut Soebandi, ia berkata bahwa pesantren yang tertua bertempat di sebelah utara Giri yaitu pesantren Giri yang didirikan dan langsung dipimpin oleh keturunan Nabi dan juga seorang Wali yang bernama Sunan Giri, Gresik, pada abad ke 17 M.
Dari berbagai pendapat di atas terkait sejak kapan berdirinya pendidikan Islam yang berbasis pesantren, Mastuhu memberikan kesimpulan yang lain bahwa pesantren di bumi Nusantara ini sudah ada sejak Aaad 13-17, sedangkan keberadaan pesantren di Jawa dimulai sejak abad ke 15-16 M, dan juga bersamaan dengan masuknya Islam pertama kali di bumi Indonesia. Dalam sistem pendidikan pesantren di Indonesia, biasanya yang menjadi pemimpin dari pondok pesantren tersebut merupakan tokoh yang ahli agama yaitu yang disebut dengan Kiai. 
Dalam mengatur kehidupan didalam pesantren, biasanya Kiai memasrahkan kepada santri tertua atau senior untuk membimmbing dan mengatur adik-adik kelasnya yang mengenyam Pendidikan di pesantren tersebut. Dalam tradisi pondok salah biasanya disebut dengan “lurah pondok”. 
Tujuan utama dari santri yang dipisahkan dengan orang tuanya yaitu supaya para santri ini tidak selalu menggantungkan kepada orang tua dan juga belajar hidup mandiri serta berhubungan baik dengan Kiai. Tidak hanya itu, manfaat yang akan dirasakan ketika di pesantren akan terus bermanfaat hingga masa tua, semisal bisa menjadi imam, memimpin kegiatan keagamaan dan lain sebagainya. Selain itu, santri yang dipasrahkan ke pondok pesantren supaya lebih mendalami ilmu agama dan memperbaiki akhlakul karimah baik untuk diri sendiri maupun masyarakat.
Terdapat beberapa elemen yang menjadi ciri khas pesantren dibanding dengan lembaga pendidikan lainnya yaitu: 1). Pondok pesantren merupakan tempat menginap dari para santri, 2). Peserta didiknya disebut dengan santri, 3). Pusat kegiatan pesantren dan ibadah adalah masjid, 4). Kiai merupakan tokoh yang disegani dan juga seorang tokoh yang memiliki keilmuan yang tinggi dalam hal ilmu agama dan memiliki kharisma, 5). Sebagai referensi kajian keislaman atau pembelajaran yang utama yaitu kitab kuning. Kajian kitab kuning yang diterapkan di berbagai pesantren memiliki kesamaan dan juga beberapa perbedaan dalam pembahasan berbagai kitab. 
Ada beberapa kitab yang dijadikan sebagai kajian pembelajaran seperti halnya kitab fikih, tafsir dan juga ada bahasa arab merupakan alat untuk memperdalam ilmu keagamaan. Dalam negara Indonesia, kitab fikih yang banyak dikaji umumnya yang bermazhab Syafi’i yang umum dikaji dalam pesantren salaf. Kemudian dalam hal kajian akhlak tasawuf, di Indonesia khususnya pesantren salaf lebih bercorak tasawuf dari Al-Ghazali, namun terdapat beberapa sufi yang menganut tasawuf yang lain.
Meskipun dipandang sebelah mata oleh pemerintah yang membandingkan dengan lembaga pendidikan yang sifatnya formal, akan tetapi pemerintah mengakui kualitas santri-santri lulusan dari pondok pesantren yang tidak kalah saing dalam hal intelektual dan bahkan memiliki keunggulan dalam bidang keagamaan. Banyak alumni lulusan pesantren yang menjadi orang besar dan menjadi tokoh masyarakat yang bermanfaat untuk bangsa dan negara salah satunya menjadi kepala pemerintahan di berbagai kedudukan, dan masih banyak lagi. Hal yang menjadi kunci kesuksesan dari para santri tersebut tidak lepas dari pesantren yang mempunyai ciri tersendiri dalam mendidik para santri dibanding dengan lembanga pendidikan lain seperti halnya sekolah formal. 
 Pada umumnya, penyelenggaraan pendidikan di pesantren salafiyah menggunakan metode yang disebut sorogan, bandungan dan juga wetonan. Sorogan merupakan proses pembelajaran yang sifatnya individu yang sifatnya tradisional dalam pesantren, dan juga merupakan metode pembelajaran yang paling dasar dan juga paling sulit bagi santri, karena dalam sorogan santri dituntut untuk mengamalkan kerajianan, kesabaran, disiplin dan juga ketaatan dalam mencari ilmu. Sebagai mana dalam nadhoman kitab Ta’lim Muta’alim yang sikatakan bahwa terdapat syarat untuk menuntut ilmu salah satunya dengan sabar dan dengan waktu yang lama.
Seringkali dalam metode sorogan ini santri menyadari bahwa seharusnya mereka belajar lebih matang terlebih dahulu sebelum mengikuti kelas pembelajaran yang selanjutnya, karena sorogan merupakan dasar yang harus dikuasai dan sebagai dasar pembelajaran, jika sudah melalui tahapan sorogan dengan baik maka santri akan menguasai ilmu agama dan akan menjadi seseorang yang alim dan dapat meneruskan perjuangan oara Kiai. Sedangkan wetonan atau juga yang disebut dengan bandungan merupakan suatu sistem belajar yang dilakukan secara berkelompok dalam bimbingan dan arahan langsung dari Kiai yang biasanya terdiri dari 10 bahkan sampai 500 orang lebih santri. 
Mereka para santri duduk mendengarkan Kiai yang sedang menjelaskan, membaca, menerjemahkan dan juga mengulas kitab yang di ajarkan dan juga ada beberapa pesantren yang mengartikan dengan Arab pegon Jawa, terdapat juga yang menggunakan Arab pegon Madura, namun ada juga yang mengartikan kitab yang teksnya merupakan bahasa arab yang diartikan ke bahasa arab juga untuk mengulas kemampuan bahasa Arab dari para santri. Sistem belajar secara kelompok ini dinamakan Halaqah. Biasanya jikalau Kiai berhalangan hadir untuk mengisi pengajian tersebut, Kiai mengurus salah satu dari santri senior untuk mengggantikan Kyai mengisi pengajian. Metode yang di terapkan ini merupakan untuk menguji mental santri supaya kelak hidup di kalangan masyarakat sudah mempunyai modal dasar.
Dalam sistem pembelajaran pesantren di Indonesia terdapat beberapa sistem pembelajaran yaitu sistem yang masih mempertahankan tradisi salaf dan pondok pesantren yang berbasis modern. Dalam pondok pesantren modern terdapat sedikit perbedaan dengan sistem pembelajaran yang diterapkan dalam pesantren salaf. Tampak sekali adanya perbedaan, demikian juga dengan kurikulum pembelajarannya terdapat perbedaan dalam hal managemen, administrasi dan juga tata kelola dari lembaga pesantren yang lebih terbuka dibandingkan dengan tata kelola pesantren salaf. Jika di pesantren salaf segala sesuatu harus mengacu atas restu dari Kiai dan semua serba apa kata Kiai dan santri harus tunduk pada Kiai. 
Dalam pesantren modern lebih mengedepankan pembelajaran yang juga menyesuaikan dengan perkembangan zaman semisal diterapkannya berbicara bahasa asing seperti Arab dan Inggris dan juga sistem pembelajarannya emneysuaikan dengan zaman seperti penguasaan elektronik computer dan lain-lain dan juga sangat beda dengan pesantren salaf yang serba tidak boleh berhubungan dengan hal elektronik jika berada dalam lingkungan pesantren. karena jika melanggar akan dikenai hukuman tersendiri, bahkan jika melanggar peraturan yang sangat berat akan di keluarkan dari pesantren. Sebagai lembaga pendidikan, pondok pesantren juga menyelenggarakan pendidikan yang formal baik itu sekolah umum, madrasah, bahkan juga perguruan tinggi yang dapat menunjang santri untuk terus tetap mengenyam pendidikan yang lebih tinggi dalam lingkup pesantren.
 Pada zaman yang modern ini, pesantren merupakan sebaik baiknya lembaga pendidikan yang sangat sekali membantu dalam pembentukan karakter anak dan juga menjadikan peserta didik tidak hanya menguasai ilmu umum, namun juga mempunyai kelebihan menguasai ilmu Agama. Maka dati itu jalan pintas terbaik bagi penuntut ilmu khususnya ilmu Agama adalah melalui jalur pendidikan pesantren baik itu berbasis salaf muapun berbasis modern. Ada beberapa pondok pesantren yang dapat dikatakan sebagai pondok pesantren yang dapat dikatakan bagus yaitu, Tebu Ireng, Jombang, Darussalam, Gontor, Al-Amin, Madura, Tambak Beras, Jombang, Darul Ulum, Jombang, Salafiah Syafi’iyah, Sukorejo dan pesantren lainnya. 
Tidak hanya pesantren yang menjadi bentuk pendidikan Agama Islam yang ada di Indonesia, namun juga terdapat pendidikan Islam yang dalam naungan dari sistem pendidikan nasional yang ada di sekolah-sekolah umum seperti halnya SMP, dan SMA sederajat yang mana dalam naungan kementrian pendidikan nasional. Terdapat juga Undang-undang tentang pendidikan nasional yang dikenal dengan (Sisdiknas) yaitu No. 20 tahun 2003, dalam bab 1 berisi tentang ketentuan umum yang menyebutkan, pendidikan merupakan suatu usaha secara sadar dan juga terencana dalam mewujudkan suasana proses pembelajaran supaya peserta didik secara aktif juga mengembangkan seluruh potensi yang ada dalam dirinya untuk memiliki kekuatan pengendalian diri, kekuatan spiritual, kecerdasan, kepribadian yang baik, keterampilan dan yang paling utama adalah akhlak mulia yang harus ditanamkan dalam dirinya supaya bermanfaat bagi dirinya sendiri, masyarakat, bangsa dan juga untuk negara.
Pendapat dari Ki Hajar Dewantara yang berkenaan dengan pendidikan nasional (ing ngarso sung tulodo, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani), dari apa yang telah disunting oleh Abuddin Nata sudah dapat mewakili. Abuddin Nata mengatakan bahwa pendidikan nasional itu merupakan pendidikan yang beralaskan atau berdasarkan garis hidup dari bangsanya dan juga bertujuan untuk keperluan dari hidup setiap orang yang juga dapat mengangkat derajat dari orang yang berpendidikan serta mengangkat derajat negara bahkan juga rakyatnya supaya dapat melakukan kerjasama dengan negara lain untuk mencapai kemuliaan manusia di bumi. Dalam pembukaan undang-undang dasar juga disebutkan dalam hal pendidikan yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Dari penjelasan tersebut sudah jelas bahwa pentingnya mengenyam pendidikan supaya terbangun peradaban manusia yang lebih baik terutama juga dalam hal keagamaan.
Pendidikan agama disini memiliki kedudukan yang begitu penting dan juga tidak lepas dari kehidupan masyarakat demi membangun peradaban manusia yang sebagaimana mestinya. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Mastuhu dalam Abuddin Nata menyatakan bahwa pendidikan agama Islam di Indonesia haruslah betul-betul mambu dalam menenmpatkan dirinya sebagai komplemen dan juga suplemen atas pendidikan nasional, dan yang diharapkan adalah sisten pendidikan nasional dapat mampu dalam membawa cita-cita nasional yaitu negara Indonesia yang tetap bertakwa dan beriman. Pendidikan agama Islam yang diterapkan dalam kurikulum di sekolah formal di Indonesia tentunya memiliki perbedaan yang sangat menonjol dibanding dengan pendidikan di pesantren.
Dalam karya Umar yang bertajuk Eksistensi Pendidikan Islam, jika di pesantren sangat menekankan untuk belajar ilmu agama secara mendalam seperti Nahwu Shorof, kitab Tafsir, Nadhoman, Kitab Fiqih, Tasawuf, mengasah kemampuan baca al-Qur’an dan masih banyak lagi yang harus ditekankan kepada santri, beda halnya dengan yang diajarkan dalam kurikulum sekolah formal yang hanya mempelajari fikih atau syariat saja yang hanya berupa dasar-dasar agama yang hanya bersifat umum diketahui. Maka dari itu, meskipun sedikit materi yang dipelajari dalam sekolah formal tentang ilmu keagaman Islam, namun sangatlah perlu untuk terus ditingkatkan sistem pembelajaran keagamaan untuk membentuk karakter kepribadian siswa yang unggul.

Artikel Terkait

Posting Komentar