Oleh: Laarabafiih
Suasana
politik dalam kubu NU selalu tercium, bahkan sejarah mencatat islamisasi yang
dilakukan oleh NU dalam bidang politik mempunyai otoritas atau kekuasaan yang
mampu menggerakkan sangkut pautnya paradigma politik di Indonesia. Kuantitas
yang dimiliki menjadi salah satu dampak krusial, hal tersebut wajar karena NU
adalah Organisasi Islam terbesar di Indonesia.
Konsep
mabadi’ khoiru ummah (Prinsip
Dasar Umat Terbaik) berdasarkan letak masalahat masyarakat, mempunyai andil
dalam perubahan sosio-ekonomi. Asas ini bertumpu pada sifat atau karakter NU
yaitu, as-shidiq dan al-amanah. Sehingga, secara lahiriah
keseimbangan dalam masyarakat sikap keagamaan ini berhasil membawa Indonesia
dengan gagasannya mengenai tawassuth(moderat) dan tasamuh(toleransi).
Hal ini yang menjadi representasi NU dalam berpolitik kebangsaan. Membawa
tanggungjawab keadaban bangsa, tepatnya ketika baru saja bangsa Indonesia
merdeka, terpaut beberapa tahun setelahnya angka kemiskinan, malpraktik, mafia
hukum memberi kecaman terhadap persoalan moralitas.
Perlu
dicermati, NU merupakan organisasi sosial kemasyarakatan. Namun, dibalik itu
rahim-rahim politik NU telah lahir baik dimasa awal kebaeradaan bangsa maupun
belakang ini. Dawam Daharjo dalam buku yang ditulis oleh Asep Saeful Muhtadi
“Nahdlatul Ulama dan Politik” mengatakan bahwa NU sendiri sebenarnya memang
lahir sebagai gejala politik, paling tidak untuk menjaga otoritas politik Islam
di era awal kebangkitan bangsa ini. Dan karena itu sering kali perilaku politik
NU kadang tampak dilematis atau tepatnya terlihat ambigu (dalam artian) menampilkan diri sebagai
kekuatan kultur keumatan tapi juga memainkan citra dirinya selaku political
power yang tak bisa diremehkan di kancah dunia. Dari sini timbullah
pertanyaan dan menjadi sebab tulisan ini dibuat, sebagai organisasi yang bersifat
sosial kemasyarakatan bagaimana peran NU dalam kancah politik di Indonesia?
Negara
dalam perspektif Madzhab Sunni adalah perwujudan dalam kepemimpinan baik agama
maupun pranata sosial. Versi Imam al-Ghazali menimpali, bahwa dalam politik
sunni, agama dan negara menguraikan relasi, sehingga terbentuk pola nalar
simbiosis mutualistik berdasarkan faktor sosial keagamaan dan budaya. Berkaitan
dengan perpolitikan seiring kompleksitas perkembangannya di Indonesia. Mengutip
dari Masmuni Mahtma, Esensi NU didirikan bukan untuk tujuan politik kekuasaan,
tetapi politik (keagamaan) yang senantiasa berbasis kerakyatan. Maka, bagi umat
Islam Indonesia yang menginginkan pelaksanaan praktik dan pemikiran
keagamaannya dekat dengan tradisi lokalnya, kehadiran NU dinilai memberi
perlindungan. Jika ini bisa disebut tindakan politik kerakyatan dalam
pengertian luas, maka politik jenis inilah yang patut disebut tingkatan politik
tertinggi NU. Seketika itu di tahun 1952 seiring perpecahan Masyumi yang
melibatkan NU sebagai penyangga, NU terbentuk sendiri sebagai partai Politik.
Gairah tersebut mulai meredam di tahun 1984, terlepas hiruk pikuk saat itu, NU
memutuskan untuk kembali pada konsep Khittoh 1926. Dari pergolakkan itu banyak
hal yang telah terjadi, dari mengimbangi menjamurnya paham HTI, mengecam
gerakan separatis DI/TII, PRRI/Permesta dan pemberontakan-pemberontakan lain
dimasa awal usai kemerdekaan Indonesia.
Berkaitan
dengan kembalinya NU pada khittoh 1926, sikap NU terjadap politik berubah. NU
dituntut untuk seratus persen kembali ada gerakan sosial. Ke-sosial-an ini
sebagai salah satu bentuk pemerhati dan pelaksana bagi cita-cita bangsa
Indonesia sesuai Pancasila. Konteks yang terjadi kini khittah NU dalam
perspektif politik, dianggap sebagai upaya pembelaan bangsa dalam bergerak.
Upaya ini tidak membatasi bagi warga Nahdliyin yang ingin tetap meyalurkan
Hasrat dalam politik secara individu. Sebab, dalam hal tersebut masih dapat
berpolitik dengan memanfaatkan suara rakyat untuk membawa kemajuan terhadap
bangsa di masa mendatang.
Posting Komentar
Posting Komentar