Apa Kabar Kaum Terpelajar?


Apa Kabar Kaum Terpelajar?

Oleh: Ruri Fahrudin Hasyim


Pada 17 November 2020 lalu, diperingati sebagai Hari Pelajar Internasional. Namun tetap saja kaum pelajar berkewajiban belajar saban hari. Karena belajar sendiri tidak cuma di bangku sekolah dan kuliah, di langgar (musholla) ataupun pesantren bagi kaum sarungan. Tapi realita yang ada di sekitar kita, yang kita temui setiap hari, bisa jadi pelajaran yang tak kurang berharga.

Dari pembelajaran kita selama ini, tentunya akan terbangun sebuah impian. Tapi jangan sampai impian kaum pelajar itu pada akhirnya berjarak dengan kondisi sosio-kultural masyarakat, halnya langit dan bumi. Dari sini, maka belajar tentang keadaan hari ini menjadi penting, agar ilmu dan impian kita tak sia-sia belaka. Eman banget.

Maka tak ada salahnya kita bersafari ke perjuangan kaum pelajar sewaktu dulu. Saat peringatan Hari Kemerdekaan Bangsa Ceko (Cekoslovakia) pada 28 Oktober 1939, muncul demonstrasi besar yang digawangi oleh Fakultas Kedokteran Universitas Charles untuk menyerukan perlawanan terhadap Fasisme Nazi dan akibat tindakan kompromis pemerintah borjuis Ceko. Bukannya suara mereka didengar, justru direpresi habis-habisan oleh aparat negara. Hingga terjadi penembakan terhadap massa-aksi, yakni seorang buruh pembuat roti Veclac Sedlacek dan seorang anggota Serikat Nasional Pemuda Sokol, Jan Opletal, yang kemudian meninggal. 

Sewaktu pemakaman Jan Opletal pada 11 November 1939 dihadiri banyak mahasiswa dan buruh anti fasis, tiba-tiba suasana pemakaman berubah menjadi gelombang besar gerakan yang mengecam rezim fasis. Hal ini membuat pemerintah pusing tujuh keliling yang berujung penutupan seluruh kampus, lalu terjadi penangkapan mahasiswa sebanyak 1.200 orang dan dikirim ke kamp-kamp konsentrasi, bahkan ada 9 demonstran yang terdiri dari seorang dosen dan 8 mahasiswa diganjar mati tanpa proses hukum.

Dari peristiwa ini, maka setiap tanggal 17 November selalu diperingati sebagai Hari Pelajar Internasional (International Student Day), yang kali pertama digelar oleh Dewan Pelajar Mahasiswa Internasional di London pada tahun 1941. Selanjutnya diteruskan oleh Serikat Mahasiswa Internasional bersama serikat-serikat mahasiswa nasional di Eropa.

Nah, ternyata api peringatan itu turut menyala di negeri kita pada momentum Hari Pelajar Internasional, dengan semangat yang sama yakni melawan segala bentuk penindasan manusia atas manusia. Seperti gelombang pembangkangan sipil oleh kaum terpelajar bersama buruh dan petani yang turun jalan di Jakarta, Jogja, Malang, Surabaya, dan kota-kota lainnya. Untuk menyerukan Mosi Tidak Percaya kepada pemerintah, dan terus mendesak untuk mencabut Omnibus Law.

Karena semangat demikian sebetulnya telah lama mengakar di tanah dan air Indonesia ini. Ingatlah perjuangan kaum terpelajar melawan penjajah pada awal abad 20-an, ada seruan boikot hingga pembakaran kebun tebu oleh buruh-buruh tani yang motori Raden Mas Tirto Adhi Soerjo dengan surat kabar Medan Priyayi dan organ Serikat Islam. Lalu di tahun 1926, muncul lagi pemberontakan serentak di beberapa daerah yang diorganisir oleh tokoh-tokoh Partai Komunis Indonesia.

Kaum santri diam-diam juga tak mau ketinggalan, Kiai Wahab Chasbullah segera saja mewadahi kaum sarungan dalam organ Nahdlatul Wathan di tahun 1916. Semangat kebangsaan melawan Kolonialisme Belanda senada dengan kredo perjuangan Hubbul Wathan Minal Iman (terj. cinta tanah air adalah sebagian dari iman) yang kerapkali digaungkan tiap kali pertemuan. Hingga tercetusnya Resolusi Jihad pada awal-awal kemerdekaan, yang diserukan Kiai Hasyim Asy’ari untuk menghadang agresi militer Belanda-Inggris yang notabene pemenang Perang Dunia II, lalu berniat menjajah kembali.  Sehingga meletuslah Pertempuran Surabaya sepanjang Oktober-November 1945.

Secara dialektik, memang impian dan cita-cita yang sejalan dengan gerak sejarah, itu lahir dari problem-problem kehidupan sehari-hari. Sebagaimana relasi kuasa ini terus melanggengkan dan makin memperparah jurang ketimpangan. Sehingga kaum pelajar yang menyadarinya akan membersamai masyarakat yang tertindas sebagai agensi perubahan, untuk mewujudkan cita-cita tentang keadilan atau kemaslahatan, sebagai anti-tesis dari ketimpangan.

Maka yang terakhir, ingin sekali kita sama-sama bisa menyapa kaum terpelajar di seantero Indonesia dari berbagai latar belakang. Bagaimana kabarmu wahai kaum terpelajar? Kalian lebih tertarik dengan bujuk rayu segelintir elit bisnis-politik (oligarki) akan masa depan? Atau tetap memilih bersama rakyat banyak untuk menciptakan masa depan? Dan keadaan esok harilah yang akan menjawab.


Tulisan ini pernah dimuat di web jurnaba.co pada 19 November 2020

Artikel Terkait

Posting Komentar