Oleh: Miftakhul Arif
“ Di antara kewajiban kita sebagai muslim adalah mengajak yang bodoh untuk belajar dan yang pintar untuk mengajar”. (KH. Abdul Wahab Chasbullah, Surabaya 1927)
Sejak usia muda, Kiai Wahab memiliki perhatian khusus pada dunia pendidikan. Apa sebabnya? Jumlah santri terus merosot dari waktu ke waktu. Untuk membuktikannya, Kiai Wahab melakukan riset di empat kota di Jawa Timur: Surabaya, Sidoarjo, Mojokerto, dan Jombang.
Hasilnya cukup mengagetkan. Di Surabaya, jumlah santri dari 2.065 menjadi 1.602. Sidoarjo, dari 1.740 santri menjadi 484. Mojokerto, dari 620 santri menjadi 300. Jombang, dari 2450 santri menjadi 1607. Jadi, dalam rentang waktu 40 tahun, dari tahun 1880-an s.d. 1900-an, terdapat penurunan drastis jumlah santri. Dari total 6875 santri menurun menjadi 3.993 santri. Data ini saya peroleh dari Majalah Suara NU tahun 1927 yang beliau kelola.
Tak hanya itu. Warga pribumi yang mayoritas Islam banyak yang buta huruf. Di pulau Jawa, rata-rata dari 1000 orang hanya 15 orang saja yang dapat membaca dan menulis. Bila perempuan turut dihitung, jumlahnya menjadi 16. Parahnya, masih ada anggapan bahwa mengajar perempuan menulis adalah makruh. Lebih baik ditinggalkan.
Memodernisasi Pendidikan Pesantren
Awal tahun 1900-an, pemerintah Hindia-Belanda menerapkan sistem politik etis. Sekolah-sekolah Belanda banyak didirikan. Meski demikian, sekolah ini hanya dapat diakses oleh kalangan priyayi. Pelajaran agama Islam tidak diajarkan. Lulusannya pun kebanyakan tumbuh besar sebagai orang sekuler.
Untuk mengimbanginya, tahun 1912 Kiai Wahab mendirikan Madrasah Mubdil Fann di Tambakberas, Jombang. Sempat ayahnya, Kiai Chasbullah, melarang madrasah ini beroperasi. “ _Ngaji nganggo bor alamat bar_ (belajar dengan papan tulis, pertanda akan bubar), kata Kiai Chasbullah. Namun, berkat kegigihan Kiai Wahab izin mendirikan madrasah Mubdil Fann pun diberikan.
Sukses merintis Mubdill Fann, Kiai Wahab pun mendirikan Madrasah Taswirul Afkar dan Nahdlatul Wathon di Surabaya. Hanya dalam waktu singkat, madrasah ini dapat berkembang pesat dan memiliki cabang di beberapa kota besar. Taswirul Afkar dan Nahdlatul Wathon pun menjadi lembaga pendidikan Islam alternatif selain pesantren. Peminatnya kebanyakan adalah muslim perkotaan.
Seiring dengan itu, kebutuhan guru pun kian mendesak. Kiai Wahab pun mengorganisir murid-murid Nahdlatul Wathon yang usianya 15 tahun ke atas dalam wadah Jamiyah an-Nasihin dan Syubbanul Wathon. Di sana mereka dididik untuk menjadi guru dan dai-dai yang terampil berpidato di depan banyak orang.
Merintis Fiqih Berkeadilan Gender
Kondisi masyarakat Indonesia yang mayoritas buta huruf diperparah oleh anggapan bahwa perempuan makruh belajar menulis. Fatwa makruh itu didasarkan pada Fatwa Ibn Hajar al-Haitami yang oleh sebagian kiai dipahami secara sepenggal. Tidak utuh. Padahal kemakruhan itu dikaitkan dengan illat (alasan rasional hukum) _khasyatal mafasid_. Khawatir menimbulkan kerusakan. Namun, bagi Kiai Wahab illat itu saat ini tidak lagi relevan. Sebaliknya, maslahatnya jauh lebih besar.
Menurut Kiai Wahab, mafasid mengajar perempuan menulis bernilai asumtif (madhnunah). Sedangkan nilai maslahatnya adalah riil, nyata (munjazah). Jika terjadi pertentangan antara _mafasid madhnunah_ dan _maslahat munjazah maka yang dimenangkan adalah _maslahat munjazah_. Dengan demikian, mengajar perempuan menulis tidaklah makruh selama tujuannya benar. Tidak melanggar prinsip syariah. Dari sini terlihat betapa Kiai Wahab mampu mengkontekstualisasikan kitab kuning dengan keahlian usul fiqih-nya.
Tak hanya berwacana, Kiai Wahab pun berupaya mewujudkan pendidikan berkeadilan gender. Di Madrasah Mubdil Fann, Kiai Wahab mulai membuka kelas putri. Di antara gurunya adalah Nyai Mas Wardiyah, isteri dari KH. Abdrurrachim Chasbullah yang tak lain adalah adik kandung Kiai Wahab.
Nyai Mas Wardiyah sendiri adalah keponakan KH. Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah. Adik ipar Kiai Wahab yang satu ini dikenal cerdas. Bukan saja pandai agama, tetapi juga fasih Bahasa Belanda. Di bawah asuhan Nyai Mas Wardiyah ini, kaum perempuan di sekitaran Tambakberas mendapat pendidikan baca tulis.
Selain itu, adik iparnya yang lain, KH. Bisyri Syansuri, di tahun 1919 juga merintis kelas perempuan yang kelak menjadi cikal bakal pondok putri pertama di Jawa Timur. Melihat karakter fiqih Kiai Bisyri yang keras dalam hukum, besar kemungkinan bila Kiai Wahab turut andil di dalam upaya pendirian kelas putri di Denanyar tersebut.
Menyeimbangkan Pendidikan Dunia-Akhirat
Di saat banyak umat Islam yang mendikotomi pendidikan agama dan dunia, Kiai Wahab justeru berpikir sudah sangat jauh. Kiai Wahab prihatin melihat realitas bahwa di kalangan umat Islam sangat sedikit tenaga-tenaga terampil profesional di bidang kedokteran, arsitektur, dan lainnya.
“ _Poro murid-murid pondok mboten wonten ingkang sami mikir kados pundi sagetipun poro muslimin menawi adek griyo lajeng cekap dateng arsitek Kiai Fulan. Menawi bade ucal jampi lajeng dateng dokter Kiai Fulan_... (para murid pondok tidak ada yang berpikir bagaimana umat Islam misalnya mendirikan rumah cukup datang ke ahli arsitek Kiai Fulan. Jika hendak mencari obat [jamu] cukup datang ke dr. Kiai Fulan), demikian kegelisahan Kiai Wahab.
Didasarkan pada ungkapan Imam al-Ghazali: _al-Ilm Ilmani, Ilmun Lil adyan wa ilmun li al-abdan_ (Ilmu ada dua; ilmu untuk kemaslahatan agama dan ilmu untuk kemaslahatan tubuh), Kiai Wahab berpandangan bahwa baik ilmu agama ataupun dunia sama-sama penting demi tertibnya kehidupan manusia.
KH. Abd. Wahid Hasyim adalah salah satu tokoh yang mampu menerjemahkan konsep pendidikan yang diidealkan Kiai Wahab. Ia pun mendirikan sekolah kejuruan di Tebuireng dengan empat spesialisasi: perdagangan (madrasah tijariyah), pertanian (madrasah ziraah), pertukangan (madrasah najjariyah), dan hukum pemerintahan (madrasah al-qudhat ). Sekolah kejuruan ini diterjemahkan oleh Kiai Wahid dari empat gagasan politik Kiai Wahab: _siyasah tijariyah, siyasah ziraiyah, siyasah najjariyah, dan siyasah hukmiyah_.
Demikianlah Kiai Wahab. Kiai berparas kecil, tetapi memiliki semangat dan cita-cita yang besar. Kiprah beliau di bidang pendidikan tidak kalah dengan Ki Hajar Dewantara. Dengan melihat segudang prestasi beliau, khususnya di bidang modernisasi pendidikan pesantren dengan mendirikan madrasah, tak ada salahnya jika kita menobatkan beliau sebagai Bapak Pendidikan Madrasah.[]
Pengajar di Pondok Pesantren Bahrul Ulum Tambakberas Jombang
Alumni PKPT IPNU UINSA
Posting Komentar
Posting Komentar