Komersialisasi
artis bertarif 80 juta berhasil menghebohkan tahun baru 2019 (05/01). Berkat
blow up media pada figur Vanessa Angel sebagai bunga ranjang, semakin
menguatkan asumsi tubuh perempuan yang ramah dibincangkan daripada biologis
laki-laki, ditambah popularitas Vanessa di jagad hiburan, lalu dilucuti
habis-habisan dalam pemberitaan. Hal ini terlalu seksis, yang berakibat pada
ketimpangan narasi sekaligus pendangkalan nalar.
Istilah 80 juta
akhirnya menjadi plesetan pedas oleh publik sebagai bentuk hiburan, perhatian,
ataupun ke-nyinyir-an. Kalau dikalkulasi sebanding dengan 22 kali upah minimum
kota Surabaya dalam jangka satu tahun sepuluh bulan, dan berpuluh-puluh lipat
bagi pegawai daerah luar ring satu yang UMK-nya masih rendah. Atau jika dibandingkan
honor guru swasta yang hanya 300 ribu sebulan, maka harus dilipatkan 266 kali
dalam jangka 22 tahun dua bulan.
Kadang kita
sendiri merasa suci ketika bicara soal prostitusi, karena berhenti pada soal
komersialisasi seksualnya. Padahal kekayaan elit bisnis tidak hanya menggoda
artis, yang mungkin bersedia melacurkan tubuh untuk memenuhi gaya hidup. Ketika
kita cuma mementingkan diri pribadi juga akan terhasut rayuan modal. Maka saya
teringat waktu belajar di pesantren, tentang petuah mendiang Mustafa
al-Ghalayini dalam Idhatun Nasyi’in, karya klasik yang pernah dilarang pada
zaman kolonial, “waspadalah engkau, jangan sampai menjual dan menukar
perjuanganmu dengan emas… menukar kebenaran dengan kesesatan”.
Hariadi
Kartodihardjo dalam Merangkai Stanza Lagu Kebangsaan, ternyata mengupas
keterlibatan akademisi dan konsultan, lembaga pemerintah dan pemda, ataupun
masyarakat lokal, dalam transaksi dengan investor, untuk melakukan penyimpangan
studi dampak lingkungan. Dalam penilaian seringkali mengabaikan aspek ilmiah
serta menutupi isu krusial penting, demi terbitnya kelayakan perusahaan (2018).
Hanyalah sekedar formalitas, maka segenap kalangan yang melacurkan
kualifikasinya bertanggungjawab atas kerusakan alam yang kian tak terkendali,
serta meningkatnya angka kriminalisasi.
Belakangan lelaki
yang kencani Vanessa baru saja diketahui, yaitu Rian seorang pengusaha tambang
pasir di Lumajang dan memiliki sejumlah bisnis di Jawa Timur. Mungkin hal ini
bisa menjadi pemantik, untuk menyoroti perusahaan dan dampaknya di wilayah
Jatim. Berdasarkan catatan Walhi Jatim (Wahana Lingkungan Hidup), menandaskan
tingkat luasan tambang migas dan mineral mencapai 551.649 hektar, yang
mengancam kerusakan dan mengambil alih wilayah kelola rakyat (2018). Seperti keluhan
warga di sekitar tambang emas Tumpangpitu Banyuwangi yang terbukti mencemari
lingkungan, sehingga mengancam petani, menurunkan hasil tangkapan nelayan,
serta merugikan warga yang mengelola pariwisata pantai.
Maraknya alih fungsi hutan, batuan
kapur, dan kawasan resapan lainnya di daerah hulu hingga hilir menjadi penyebab
utama kerusakan sumber daya air (Walhi Jatim, 2018). Kota Surabaya sendiri,
lokasi Rian kencani Vanessa di sebuah hotel, ternyata ada upaya reklamasi Waduk
Sepat menjadi perumahan sebuah investasi properti, kawasan terbuka hijau
sebagai sarana perekonomian warga dan penampung hujan yang menopang daerah
sekitarnya, kini terancam hilang. Lalu dalam pengelolaan limbah berbahaya dari
sejumlah bisnis di Jatim yang dilakukan PT PRIA Kab. Mojokerto juga timbulkan
masalah baru. Penimbunan limbah bertahun-tahun di kawasan terbuka desa
Lakardowo menyebabkan pencemaran pada tanah, sumur warga, lahan dan pertanian,
serta menjadi wabah penyakit kulit.
Dampak buruk
korporasi ekstraktif ini berhubungan kuat dengan kerasukan manusia, pelacuran
jabatan dan pengetahuan. Lalu ketimpangan sosial dan lingkungan dirasakan
langsung oleh segenap masyarakat, bahkan yang berani menuntut keadilan
seringkali terjadi kriminalisasi. Pada akhirnya mengingatkan kita lagi pada
narasi perjuangan al-Ghalayini yang rasanya masih relevan, barangkali dapat
menggugah hati untuk turut meredam konflik horizontal, menciptakan hubungan
sosial yang harmonis, dan lingkungan yang sehat.
“Kalian jangan
mengenal lelah dan payah demi kepentingan bangsa dan negara, dalam melepaskan
umat dari bentuk-bentuk perbudakan apapun, baik yang dilakukan penjajah asing
maupun bangsa sendiri yang berkomplot dengan penjajah. Juga perbudakan hawa
nafsu yang menyeret manusia berperilaku rendah dan hina, rusaknya budi pekerti,
berpikiran tercela dan jahat”. (Idhatun Nasyi’in).
Ruri Fahrudin Hasyim
(Ketua PKPT IPNU UINSA 2017-2018)
Posting Komentar
Posting Komentar