‘MERDEKA’ DI NEGERI MERDEKA
Oleh: M. Samol Ready
“Tidak ada satu ikatan lagi jang mengikat tanah-air dan bangsa kita! Mulai saat ini, kita menjusun Negara kita! Negara merdeka”, (read: Kapita Selekta). Ungkapan yang dinafaskan oleh Bung Karno dalam pidato kemerdekaan Indonesia 72 tahun silam ini, idealnya merupakan penegasan sekaligus pesan moral agar bangsa Indonesia mampu melakukan sepak terjang menuju jalan kemapanan dalam skala Internasional. Semangat juang yang diselipkan oleh The Founding Father kita, seharusnya mampu menyadarkan kita bahwa merdeka bukan sebatas terbebas secara fisik dari jerahan penjajah asing, melainkan juga mental secara total.
Kurangnya kesadaran atas hal ini, merupakan pangkal dari sempitnya persepsi nasionalisme. Rasa mencintai tanah air bukanlah bersimbol dari sehebat mana kita memperingati hari kemerdekaan, tapi sejauh mana kita membuktikan bahwa Indonesia mampu menjadi Negara berdikari, paling tidak, Indonesia merasa tidak bergantung kepada Negara lain, kendati harus diakui bahwa proses transisi menuju merdeka yang sejati menjadi simplifikasi harga diri bangsa ini.Sejarah mencacat bahwa setiap menjelang hari kemerdekaan Indonesia, antusias masyarakat terbukti dengan kerja bakti membersihkan lingkungan sekitar, hiasan bendera dengan cat merah putih yang meriah, dan kerap diadakannya lomba-lomba sosial yang dimaksudkan memicu solidaritas antar individu, seperti panjat pinang, balap karung, lari kelereng, makan kerupuk, dan lain sebagainya. (Tribun Jabar: Kamis, 17/8/2017).
Jika semangat kebangsaan hanya diekpresikan dalam semarak menjelang hari kemerdekaan saja, mampukah kita menjadi bangsa yang benar-benar merdeka? Ahmad Sadali dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia memaknai merdeka sebagai keadaan bebas (dari penghambaan, penjajahan, dsb). Jadi, orang __bangsa__ yang merdeka ialah orang yang hak (secara kodrati maupun materi) tidak terjajah oleh pihak lain. Karena itu, penjajah tidak selalu mengarah kepada bangsa asing, melainkan juga bangsa sendiri. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa perjuangan bangsa atas kemerdekaan sejatinya belumlah tuntas. Sebagaimana Soekarno pernah mengatakan bahwa kemerdekaan bukan peristiwa sekali jadi, tetapi harus diusahakan terus menerus oleh segenap warga Indonesia.
Hari ini, bukan lagi waktu yang tepat menunggu keajaiban datang, sedang di waktu yang sama kita sadar bahwa banyak masalah cukup pelik yang ada di Indonesia. Laiknya korupsi, banjir, kesenjangan pendidikan, pembangunan yang marginal, narkoba, dan krisis moral (kekerasan, pembunuhan, dll). Deretan tindakan kriminal ini, tentu menjadi bukti bahwa secara substansial Indonesia belum merdeka. Ukuran merdeka secara sederhana dapat kita takar dengan kesejahteraan dan kemaslahatan bangsa Indonesia. Dan hingga hari ini, sepertinya Indonesia masih jauh dari kata itu.
Permasalahan ini mengingatkan kita terhadap ungkapan H.S. Dillon bahwa kemerdekaan Indonesia yang setiap tanggal 17 Agustus diperingati barulah sebatas gradasi pernyataan dan belum menjelma menjadi kenyataan. Senada dengan Michael Sendow yang menegaskan bahwa rutinitas merayakan perayaan kemerdekaan tinggal kebiasaan belaka. Hal ini terbukti dengan melihat keadaan bangsa Indonesia yang saat ini masih jauh dari kesejahteraan, dimana sebagian masyarakat sibuk berteriak ganti Presiden, dan sebagian yang lain sibuk mendirikan Negara khilafah. Belum lagi akhir-akhir ini aksi terorisme kembali mencuat kepermukaan.
Oleh karenanya, sudah saatnya bangsa Indonesia sadar dan bergerak. Kesadaran dimulai dengan ideas (Read: Max Weber) dan bergerak dengan social angineering (read: Jalaluddin Rakhmat). Soe Hok Gie menyebut take an action sebagai upaya penyadaran bangsa agar tidak hidup dalam dunia fantasi. Sudah saatnya, bangsa Indonesia menjadi pahlawan-pahlawan baru yang visioner.Pasalnya, dewasa ini, seorang pahlawan tidak harus mengangkat pedang, tembak, bom dan senjata-senjata lainnnya, karena penjajahan saat ini berupa pengikisan norma-norma budaya lokal sehingga mendegradasi moral bangsa.
Menilik makna pahlawan, Ahmad Sadali (sebagaimana disinggung di atas) dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia menyebut "pahlawan" sebagai orang yang menonjol karena keberanian dan pengorbanannya dalam membela kebenaran, dan orang yang bersifat kepahlawanan ialah orang yang bersifat rela berkorban, kesatria, pejuang, dan lain sebagainya. Jadi siapapun yang berjuang dan rela berkorban untuk kemajuan bangsa Indonesia, sejatinya adalah pahlawan.
Banyak sekali langkah yang perlu dilakukan untuk menjawab persoalan pelik bangsa ini. Pertama, dari aspek pendidikan misalnya, menjadi seorang pendidik, dengan target dan capaian mencerdasarkan anak bangsa. Guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa, merupakan aforisme yang cukup familiar di telinga, karena seorang guru dengan ikhlas dan tanpa pamrih membimbing anak didiknya agar bisa membaca, menulis, menghitung dan lain sebagainya. Sehingga tidak berlebihan kiranya Ali bin Abi Thalib mengungkapkan bahwa “saya siap menjadi budak kepada orang yang mengajarkan saya walaupun hanya satu huruf”.
Kedua, dari aspek politik, adalah hal yang wajar sebagian politisi memiliki mindset bahwa dalam kerjasama yang abadi hanyalah kepentingan, selebihnya hanyalah permainan. Tetapi yang menjadi kesalahan ketika yang kalah menjelek-jelekkan yang menang, dan yang atas menindas yang bawah, ataupun sebaliknya.
Contoh problem kita saat ini adalah, kita masih belum mampu menghilangkat sekat-sekat kebangsaan. Jelasnya, kita masih terkungkung dalam problem pro-Jokowi dan anti Jokowi, sehingga teriakan “2019 ganti Presiden” seperti dengungan kumbang yang bising di telinga. Seharusnya politisi dan seluruh masyarakat membantu gerakan-gerakan Jokowi demi terciptanya kesejahteraan bersama. Karena diakui atau tidak, Jokowi masih sah sebagai Presiden Indonesia. Polemik ini tentu sangat menghambat kemajuan bangsa Indonesia. Karena kacamata yang digunakam terfokus kepada siapa yang berkuasa, bukan bagaimana nasib bangsa.
Ketiga, dari aspek budaya, yakni melawan orang-orang yang melakukan kerusakan, dan ikut serta merawat nilai kultur yang terus digusur oleh anasir-anasir liberal-global bernuansa sekular. Sudah menjadi tugas kita sebagai bangsa, dimana seharusnya kita mampu menfilterisasi budaya-budaya baru yang tidak layak untuk kita miliki. Dalam istilah NU misalnya, “mempertahankan tradisi lama yang baik, dan menerima tradisi baru yang lebih baik.
Keempat, dari aspek sosial, sebagai Negara pluralis, kita dituntut mengedepankan solidaritas. Menerima dan menghargai adalah cara terbaik menyikapi perbedaan. Contoh yang terkesan sederhana adalah bersikap bijak dalam bermedia, mengingat media dewasa ini sering dibanjiri dengan berita hoax yang mengadu domba dan bernada kebencian, sehingga rivalitas sesama saudara, sebangsa, dan seagama seringkali terjadi. Mestinya kita tidak main-main dengan media, memanfaatkan media sebagai alat pemersatu bukan pekerjaan yang sulit untuk dilakukan. Paling lemahnya, kita tidak berbuat kerusakan dalam media. Ini sangat penting, sebagaimana ungkapan Ross Howard bahwa media bisa menjadi alat resolusi konflik ketika informasi disajikan sangat handal.
Jika keempat cara di atas mampu dilakukan oleh segenap bangsa Indonesia, dengan penuh antusias laiknya memaknai dan merayakan hari kemerdekaan Indonesia, maka secara bertahap bukan tidak mungkin Indonesia menjadi Negara merdeka yang kemerdekaannya dapat dirasakan oleh suluruh bangsa setanah air. Karena pada dasarya, hidup ini ialah hasil dari apa yang kita pikirkan, (read Albert Einsten). Wallahu al-a’lam bi al-shawab. (samoel/pkpt)
Posting Komentar
Posting Komentar