Surplus
kader muda NU adalah tanda sehatnya proses kaderisasi. Ia menunjukkan bahwa NU
masih dipercaya, diminati, dan mampu melahirkan generasi penerus dalam jumlah
besar. Makesta, Lakmud, hingga berbagai pelatihan lanjutan terus berjalan dan
melahirkan kader-kader dengan semangat, pengetahuan dasar keorganisasian, serta
komitmen ideologis yang kuat. Namun, di balik kabar baik itu, tersembunyi
tantangan yang tidak kecil bagi kepengurusan baru: bagaimana memastikan kader
yang banyak itu tidak berhenti hanya sebagai “alumni pelatihan”, tetapi
benar-benar menjadi penggerak organisasi.
Realitas
di lapangan menunjukkan bahwa tidak semua kader yang telah melalui proses
panjang kaderisasi mendapatkan ruang aktualisasi yang jelas. Banyak yang
semangat di awal, aktif mengikuti kegiatan, namun perlahan menjauh karena
merasa tidak dilibatkan secara nyata. Jika kondisi ini dibiarkan, surplus kader
justru berpotensi berubah menjadi kejenuhan kolektif. Kader yang seharusnya
menjadi aset, malah bisa menjadi penonton, atau bahkan kehilangan ikatan
emosional dengan organisasi. Di sinilah pengurus dituntut untuk menggeser
orientasi: dari sekadar mencetak kader, menuju memastikan kader benar-benar
berperan.
Kaderisasi
sejatinya bukan tujuan akhir, melainkan pintu masuk. Ia adalah proses
pembentukan nilai, sikap, dan cara pandang, yang seharusnya berujung pada
kontribusi nyata di tengah organisasi dan masyarakat. Tanpa ruang kontribusi,
kaderisasi hanya akan menjadi rutinitas seremonial. Maka, pengurus baru perlu
berani melakukan lompatan paradigma: melihat kader bukan hanya sebagai peserta
pelatihan atau nama dalam database, tetapi sebagai subjek aktif yang punya
potensi dan kapasitas berbeda-beda.
Langkah
strategis pertama yang perlu dilakukan adalah pemetaan potensi kader. Kader
muda NU hari ini sangat beragam latar belakangnya. Ada yang kuat di bidang
dakwah dan keilmuan keislaman, ada yang memiliki minat di pendidikan, media
digital, advokasi sosial, lingkungan, hingga ekonomi kreatif. Keberagaman ini
adalah kekayaan, bukan masalah. Namun, tanpa pemetaan yang jelas, potensi
tersebut akan tercecer dan tidak terhubung dengan kebutuhan organisasi.
Pengurus perlu hadir sebagai penghubung antara potensi kader dan ruang
kontribusi yang tersedia.
Selanjutnya,
ruang kontribusi harus dibuat nyata dan bermakna. Bukan sekadar melibatkan
kader sebagai panitia teknis atau pelengkap kegiatan, tetapi memberi mereka
peran yang sesuai dengan minat dan kapasitasnya. Kader yang tertarik di bidang
media, misalnya, bisa dilibatkan dalam pengelolaan konten dakwah digital NU.
Mereka yang bergerak di isu sosial bisa diarahkan pada program advokasi atau
pengabdian masyarakat. Dengan begitu, kader merasa dibutuhkan, dipercaya, dan
memiliki peran strategis, bukan hanya menjalankan perintah.
Selain
itu, budaya organisasi juga perlu diarahkan agar lebih inklusif dan dialogis.
Kader muda perlu ruang untuk menyampaikan gagasan, bereksperimen, bahkan
melakukan kesalahan dalam batas yang wajar. Jika organisasi terlalu kaku dan
hirarkis, kreativitas kader akan terhambat. Padahal, tantangan zaman hari ini
membutuhkan fleksibilitas, inovasi, dan keberanian mencoba hal baru. Pengurus
berperan penting sebagai fasilitator, bukan semata-mata pengendali.
Pada
akhirnya, keberhasilan kepengurusan baru tidak diukur dari berapa banyak kader
yang dilantik atau berapa sering pelatihan digelar. Ukurannya adalah seberapa
jauh kader mampu memberi dampak, baik di internal organisasi maupun di tengah
masyarakat. Ketika kaderisasi berujung pada kontribusi, NU tidak hanya kaya
secara jumlah, tetapi juga kuat secara peran dan pengaruh.

Posting Komentar
Posting Komentar