Beberapa tahun terakhir, ruang
publik digital Indonesia dipenuhi oleh narasi yang menampilkan NU secara
negatif. Ketika muncul satu kasus perundungan atau kekerasan seksual di sebuah
pesantren, meski tidak terkait dengan NU baik secara kultural maupun struktural,
publik sering memunculkan komentar seragam: “pasti pesantren NU” dan beberapa
komentar yang menyudutkan NU. Narasi ini kemudian diperkuat oleh media daring
melalui judul sensasional, dan perlahan membentuk persepsi publik seolah-olah
keseluruhan persoalan dunia pesantren hanyalah persoalan NU.
Padahal secara faktual, pesantren
bukan hanya milik NU. Pesantren adalah ekosistem pendidikan Islam yang luas dan
beragam. Banyak pesantren berada dalam tradisi Muhammadiyah, Persis, LDII, atau
berdiri secara independen tanpa afiliasi ormas apa pun. Namun karena NU
memiliki populasi pesantren terbesar dan paling dikenal publik, maka ketika
terjadi kasus di lembaga mana pun, publik cenderung melakukan short-cut
attribution, yakni menyimpulkan cepat tanpa melihat fakta afiliasi
institusionalnya. Akibatnya, beban reputasi justru banyak jatuh kepada NU,
meski tidak terkait langsung dengan peristiwa tersebut.
Fenomena ini diperparah oleh
maraknya apa yang kini dikenal sebagai gus-gusan: figur-figur muda yang
mengklaim berasal dari kultur pesantren atau keturunan kiai, kemudian tampil di
media sosial dengan perilaku yang kontroversial. Salah satu kasus yang belakangan
ini viral adalah tindakan seorang pendakwah muda yang mencium anak perempuan di
atas panggung. Perilaku individu seperti ini dengan cepat dilekatkan sebagai
representasi “NU”, Ruang digital tidak memberi ruang untuk klarifikasi;
identitas budaya langsung disimpulkan sebagai identitas organisasi.
Meski demikian, kita tidak
mengatakan bahwa semua kritik terhadap NU adalah tidak berdasar. Justru, banyak
masalah nyata yang perlu diperbaiki; tata kelola organisasi, transparansi,
akuntabilitas sosial, dan cara berkomunikasi publik. Tetapi ketika kritik dan
kasus tersebut dijadikan dasar untuk menyimpulkan bahwa “seluruh NU
bermasalah”, maka di situ muncul generalisasi yang berbahaya: bukan hanya
metakritik, tetapi stigma kolektif yang menggerogoti persepsi publik.
Bagaimana Media Membentuk Persepsi? Agenda-Setting dan Framing
Untuk memahami mengapa kasus-kasus negatif
lebih cepat melekat dalam ingatan publik dibandingkan kontribusi kultural dan
sosial NU, perlu dipahami dua teori komunikasi penting: agenda-setting
dan framing.
Secara sederhana, agenda-setting
menyatakan bahwa media tidak menentukan apa yang harus dipikirkan publik,
tetapi menentukan apa yang dipikirkan publik tentang. (McCombs & Shaw, 1972).
Ketika isu perundungan atau kekerasan seksual
di pesantren terus-menerus diangkat oleh media, diperkuat oleh potongan video,
dan menjadi konsumsi akun-akun agregator, publik mulai percaya bahwa itulah
persoalan utama pesantren; meskipun mayoritas pesantren berjalan aman, tertib,
dan mendidik ribuan santri tanpa kasus.
Setelah isu masuk dalam benak publik
sebagai “isu penting”, framing bekerja sebagai lapisan kedua. Media
memilih sudut pandang tertentu, menonjolkan aspek sensasional, dan
menyederhanakan hubungan sebab akibat. (Entman, 1993).
Penyusunan judul semacam “Kekerasan
Seksual di Pesantren…” atau “Gus Muda Berulah…” tidak sekadar menyampaikan
informasi; ia membingkai persepsi. Ketika individu bermasalah diberi label
kultural tertentu, publik akhirnya melihat keseluruhan komunitas melalui
perilaku segelintir orang.
Dalam konteks NU, praktik framing semacam ini
membuat publik mengingat sisi bermasalah, tetapi melupakan tradisi keilmuan,
khidmah sosial, dan kontribusi panjang yang sudah berlangsung puluhan tahun. Realitas kompleks sebuah organisasi besar direduksi menjadi citra
tunggal yang dihasilkan oleh viralitas.
NU: Tradisi Panjang yang Mudah Tenggelam oleh Sensasi Sesaat
NU memiliki sejarah yang panjang
dalam pendidikan, sosial, budaya, dan kehidupan kebangsaan Indonesia.
Pesantren-pesantren dalam tradisi NU sejak lama menjadi pusat transmisi ilmu,
etika, dan pembentukan karakter (Abdullah et al., 2024). Pertumbuhan signifikan jumlah
pesantren dalam dua dekade terakhir menunjukkan kepercayaan masyarakat yang
tidak hanya bertahan, tetapi meningkat (Maghfiroh et al., 2024). Di banyak
daerah, lembaga-lembaga yang berada dalam ekosistem tradisi NU menjalankan
program pemberdayaan ekonomi, pendidikan vokasi, serta inovasi sosial yang
menjangkau masyarakat akar rumput.
Namun kontribusi sunyi semacam ini
tidak memiliki daya viral. Satu video yang kontroversial dapat menghapus
perhatian publik terhadap kerja-kerja yang sudah dilakukan selama puluhan
tahun. Inilah paradoks era digital: sensasi mengalahkan substansi, dan ingatan
publik lebih mudah dibentuk oleh potongan video daripada oleh sejarah panjang
atau kontribusi yang tidak dramatis.
Peran Strategis Kader IPNU–IPPNU dalam Mengimbangi Narasi
Di tengah lanskap media yang demikian, kader IPNU–IPPNU
memiliki peran strategis: bukan untuk melakukan pencitraan, tetapi membangun
kembali narasi yang adil dan proporsional. Kita berada pada posisi yang
memahami dua dunia sekaligus, yakni tradisi pesantren dan dinamika digital.
Kader IPNU–IPPNU dapat menyajikan data, riset,
liputan lapangan, narasi humanis, dan konten edukatif yang menunjukkan wajah
lengkap pesantren dan NU. Kita dapat mengoreksi mispersepsi publik, bukan
dengan defensif, tetapi dengan argumentasi dan informasi yang berdasarkan
fakta. Kita juga dapat menampilkan bahwa pesantren sebagai fenomena sosial
tidak monolitik, tidak hanya dimiliki NU, dan bahwa berbagai problematika yang
muncul adalah tantangan pendidikan secara umum, bukan identitas satu ormas. Dalam
konteks ini, literasi digital bukan hanya keterampilan teknis, tetapi juga
tanggung jawab etis untuk memastikan bahwa citra pesantren dan NU tidak
terdistorsi oleh framing negatif yang tidak proporsional.
Menjaga Warisan, Mengarahkan Persepsi
Duduk persoalan yang terjadi hari ini bukan
terbatas pada tataran struktural saja, melainkan juga pada tataran persepsi.
Jika narasi yang membingkai NU selalu berasal dari isu-isu negatif, maka
warisan sejarah dan kontribusi panjang organisasi ini akan tergerus sedikit
demi sedikit.
Kader IPNU–IPPNU memegang peran kunci untuk
mengimbangi arus tersebut. Dengan kemampuan analitis, kecakapan digital, dan
kedekatan kultural, Kita dapat memastikan bahwa publik melihat NU bukan hanya
melalui kasus-kasus yang viral, tetapi melalui keseluruhan kontribusi, nilai,
dan tradisinya.
Mengimbangi generalisasi bukan berarti membungkam kritik. Ini adalah upaya menjaga agar kebenaran tetap lebih besar daripada sensasi, dan agar NU dipahami melalui kenyataan yang utuh, bukan sekedar melalui potongan yang kebetulan sedang viral.
Oleh: Hattasal Ma'ruf
Editor: Wahyu Nur Oktavia
Posting Komentar
Posting Komentar