Menilik Tradisi Bersalaman Selesai Shalat

Menilik Tradisi Bersalaman Selesai Shalat

Oleh: Nadia Dina Azkiya
(Pengurus PAK IPNU IPPNU Imam Maliki UINSA)

Sumber: Suara Muhammadiyah

Indonesia dikenal sebagai negara dengan penduduk mayoritas beragama Islam, hal ini disebabkan akibat ulama terdahulu terutama Walisongo yang telah berkontribusi besar dalam menyebarluaskan agama Islam di wilayah ini. Indonesia kental dengan tradisinya, sehingga Islam di Indonesia berbalut dengan tradisi. Kebanyakan mayoritas masyarakat Islam di Indonesia hanya mengikuti apa yang telah diajarkan oleh kalangan yang lebih tua. Karena itu, minim sekali pengetahuan anak muda yang mengetahui dasar hukum yang dipraktikkan sehari- hari, seperti contoh bersalaman.

Bersalaman atau salim adalah suatu budaya di Indonesia dimana seorang muslim berjabat tangan dengan saudaranya. Kegiatan ini biasanya dilakukan ketika seorang anak berpamitan kepada orang tuanya atau seorang murid kepada gurunya. Namun Kegiatan ini juga dilakukan selesai sholat berjama’ah dan telah menjadi suatu tradisi bagi masyarakat. Pertama kali praktek bersalaman dilakukan oleh orang yaman yang datang kepada nabi. Seperti sabda nabi: “Telah datang kepada kalian semua ahlu Yaman, merekalah orang yang pertama kali menyebarkan jabat tangan.” (HR. Abu Dawud)

Bersalaman selesai sholat merupakan amalan turun menurun dari para orang tua kepada anaknya dan telah menjadi tradisi di Indonesia. Banyak dari kalangan generasi muda mereka hanya terpaku pada tradisi tanpa mengetahui landasan syari’atnya. Hal ini merupakan fenomena dari taqlid buta, yaitu dimana praktik bersalaman banyak yang melakukan tanpa mengetahui dalil dan manfaat di baliknya. Sedangkan, taqlid buta adalah suatu kegiatan yang abnormal tetapi dianggap normal oleh kebanyakan. Sehingga berakibat pada mudahnya generasi muda terombang-ambing oleh situasi dan tidak memiliki pendirian yang teguh[1].

Bersalaman suatu amalan yang dianjurkan oleh nabi dan merupakan bentuk dari persaudaraan karena dapat terciptanya kemesraan, kasih sayang, dan persahabatan. Hukum sunnah tersebut telah disepakati di seluruh penjuru dunia, baik dari mazhab Syafi’iyyah atau mazhab lainnya. Bahkan apabila seorang saudara muslim yang lama tidak bertemu atau setelah melakukan ibadah haji, maka dianjurkan untuk saling berangkulan[2]. Seperti sabda nabi :

عَنْ الْبَرَاءِ بْنِ عَا زِبٍ قَالَ رَسُولَ اللّهِ صَلَّى اللّهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ مَا مِنْ مُسْلِمَيْنِ يَلْتَقِيَا نِ فَيَتَصَا فَحَانِ أِ لاَ غُفِرَ لَهُمَا قَبْلَ أَنْ يَتَفَرَّ قَا. (سنن ابن ماجاه, رقم)

Diriwayatkan dari al-Barra’ bin ‘Azib, ia berkata, Rasulullah SAW. bersabda, Tidaklah dua orang laki- laki bertemu, kemudian keduanya bersalaman, kecuali diampuni dosanya sebelum mereka berpisah.” (Sunan Ibn Majah [3693])

Berdasarkan hadist diatas maka ulama Syafi’iyyah mengatakan bersalaman setelah shalat adalah perbuatan sunnah. Meskipun perbuatan tersebut termasuk bid’ah mubahah. Kegiatan bersalaman merupakan perbuatan yang baik, pendapat ini juga diakui oleh Imam Nawawi. Tetapi lebih diperinci lagi bahwa kesunnahan dalam bersalaman bisa tercapai apabila seorang muslim bertemu. Dalam konteks ini dapat diartikan apabila seorang muslim yang baru saja bertemu ataupun belum pernah bertemu baru bisa mendapatkan kesunnahan dalam bersalaman selesai shalat. Lalu bagaimana ketika seorang muslim yang sudah bertemu dan berjabat tangan selesai shalat?

Dalam maqalah Imam Nawawi bahwasanyaBerjabat tangan itu sunnah dilakukan ketika bertemu. Adapun orang – orang yang mengkhususkan diri untuk melakukan setelah dua shalat (Asar dan Shubuh) maka dianggap bid’ah mubahah. Sesungguhnya kalau seseorang sudah berkumpul dan bertemu sebelum shalat, maka berjabat tangan termasuk bid’ah mubahah seperti diatas. Tetapi jika sebelumnya belum pernah bertemu maka sunnah (bersalaman). Karena ketika itu dianggap belum pernah bertemu.”

Dari pernyataan diatas dapat disimpulkan bahwa hukum bersalaman setelah shalat adalah boleh. Dan kalaupun suatu hal yang bid’ah, termasuk bid’ah mubahah. Dan menjadi sunnah apabila seseorang yang sebelumnya belum bertemu ketika shalat[3].

Sebagian ulama ada yang berpendapat hukum berjabat tangan selesai shalat adalah sunnah, meskipun sebelumnya telah bertemu. Hukum ini dipandang sunnah karena orang yang shalat itu seolah-olah dengan orang yang gha’ib (tidak ada di tempat karena bepergian atau lainnya). Setelah selesai shalat, seakan-akan baru datang setelah berpergian, maka ketika itu dianjurkan bersalaman[4].

       Banyak pihak mempertanyakan apakah tradisi bersalaman setelah sholat dapat mengganggu kelancaran sholat dan membuatnya tidak sah. Kegiatan ini sama sekali tidak ada hubunganya dengan kesempurnaan shalat, karena kegiatan ini dilakukan ketika seseorang telah menyempurnakan shalatnya. Batas kesempurnaan shalat adalah salam, setelah itu gugurlah kesempurnaannya. Sehingga kegiatan yang dilakukan selesai salam maka tidak ada hubungannya dengan shalat.




[1] R. D. Smyth, G. W. Martinek, dan W. T. Ebersold, “Linkage of Six Genes in Chlamydomonas Reinhardtii and the Construction of Linkage Test Strains,” Journal of Bacteriology 124, no. 3 (Desember 1975): 1615–17, https://doi.org/10.1128/jb.124.3.1615-1617.1975.
[2] Didin Hafidhuddin dkk., “ADVISORY EDITORIAL BOARD,” t.t.
[3] Muhyiddin Abdusshomad, Fiqh tradisionalis: jawaban pelbagai persoalan keagamaan sehari-hari (Malang: Pustaka Bayan, 2007), 115.
[4] Abdusshomad, 1115.

Terbaru Lebih lama

Artikel Terkait

Posting Komentar