Mengapa Islam Nusantara Dianggap Berbeda

Indonesia merupakan negara yang kaya akan budaya, suku, bahasa, dan agama. Terlebih eksistensi Islam sebagai agama impor di bumi Nusantara ini setidaknya mendominasi dan tercatat sebagai muslim terbesar di dunia. Istilah Islam Nusantara sudah tidak asing lagi di mata muslim Indonesia.

Mengapa dinamakan Islam Nusantara? Perlu dicatat, istilah Islam di Nusantara dan Islam Nusantara merupakan dua hal yang jauh berbeda. Pertama merujuk pada Islam yang ada di bumi Nusantara, sedangkan pernyataan yang kedua merujuk pada corak atau nilai-nilai keislaman khas Nusantara.

Jika Islam Nusantara ini dimaknai sebagai Islam yang ada di Nusantara atau Nusantara sendiri disebutkan sebagai wilayah, maka sebutan Islam Nusantara mendefinisikan berbagai ormas maupun aliran-aliran Islam yang ada di bumi Nusantara. Akan tetapi, jika Islam Nusantara dimaknai sebagai nilai-nilai Islam yang mempunyai corak tersendiri atau ciri khas, hal ini berarti mencatat karakteristik dan watak Islam yang tumbuh di Indonesia baik dari segi ibadah muamalah dan mahdloh. 

Hadirnya produk Islam Nusantara ini tentunya tidak lepas dari dua unsur yang tidak dapat dipisahkan, yaitu unsur budaya dan unsur Islam. Hal ini sejalan dengan pendapat Gus Dur, beliau berkata, “Tumpang tindih antara agama dan budaya akan terjadi terus-menerus sebagai suatu proses yang akan memperkaya kehidupan dan membuatnya tidak gersang.”

Budaya suatu wilayah disini berusaha menunjukkan identitas dari wilayah itu sendiri yang mempunyai ciri khas. Tercatat dalam sejarah bahwa, lahirnya Islam Nusantara ini di pelopori oleh Walisongo yang mensyiarkan Islam dengan menggunakan pendekatan budaya. Dalam mensyiarkan Islam, para wali ini mengadopsi budaya pewayangan masyarakat Jawa lama (Hindu) sebagai media dakwah. 

Dengan bijak, Walisongo dalam menyiarkan Islam memadukan unsur budaya dan Islam tanpa menyinggung perasaan masyarakat lokal yang kala itu beragama Hindu. Pada mulanya, wayang berisikan filsafat dan teologi Hindu yang kemudian oleh Walisongo dikonstruksi menuju teologi Islam.

Hasil modifikasi Walisongo dalam mengkonstruksi filsafat dan teologi Hindu menuju Islam dapat kita lihat seperti halnya terkait pemaknaan Jimah Kalimah Shada yang berarti Jimat Kali Maha Usada yang sebelumnya bernuansa teologi Hindu dimodifikasi oleh para Wali menjadi Azimah Kalimat Syahadat. Frase tersebut menunjukkan pernyataan seseorang tentang keyakinan tiada Tuhan selain Allah dan persaksian bahwa Muhammad utusannya.

Setelah mengenal sekelumit sejarah tentang lahirnya Islam Nusantara, mari kita pahami kembali makna Islam Nusantara. Tipikal Islam ala Nusantara sendiri, dalam menerapkan nilai-nilai keislaman menggunakan budaya Nusantara yang nantinya menjadi identitas Islam Nusantara yang berbeda dengan Arab. Bukan berarti dalam hal teologi juga berbeda, namun dalam menerapkan nilai-nilai keislamam di sesuaikan dengan budaya setempat. Dalam menerapkan ajaran dan nilai-nilai Islam tidak harus sama dengan Arab yang dikenal sebagai tempat lahirnya Islam. 

Salah satu ormas Islam yang melestarikan budaya dan menerapkan nilai-nilai Islam ala Nusantara yaitu Nahdlatul Ulama (NU). Ketua umum PBNU KH. Said Aqil Siroj dalam acara pembukaan Munas Alim Ulama NU dan pembukaan Istighosah dalam menyambut bulan Ramadhan pada 14 Juni 2015 di masjid Istiqlal menyebut bahwa Islam Nusantara memiliki ciri khas yang anti radikal, toleransi, Inklusif, damai dan mengedepankan kemaslahatan. Tipikal Islam ala Nusantara ini sangat jauh berbeda dengan Islam yang ada di timur tengah yang hingga kini masih menuai konflik sesama muslim, terutama masalah politik yang kacau.

Ciri khas Islam Nusantara yang demikian setidaknya dapat menjadi kiblat bagi Muslim lain di berbagai belahan dunia. Islam ala NU terutama sebagai ormas Islam terbesar di dunia yang bersifat moderat setidaknya menjadi contoh bagi Muslim lain dalam mengawal perdamaian antar umat beragama. Azyumardi Azra mengungkapkan, Islam Nusantara ala Nahdlatul Ulama ini memiliki potensi untuk kemajuan bangsa guna mewujudkan peradaban Islam yang rahmatan li al-alamin. 

Salah satu produk asli simbol-simbol Islam ala Nusantara dalam hal pakaian yakni sarung. Selain berfungsi menutup aurat, sarung juga tidak pernah dicontohkan oleh Nabi, akan tetapi sarung identik dengan simbol keislaman di Nusantara yang nantinya menjadi ciri khas tersendiri.

Islam ala Nusantara yang memegang teguh dan melestarikan budaya ini memiliki peran yang sangat sentral dalam menjaga kesatuan NKRI, pasalnya juga memegang prinsip cinta tanah air dan mengedepankan toleransi antar umat beragama.

Seperti halnya Nabi Muhammad saw yang begitu mencintai Arab, karena Nabi lahir di Arab dan menghargai budaya tanah airnya. Sama halnya dengan Islam Nusantara, tidak dapat dipungkiri budaya yang telah mandarah daging pada masyarakat lokal Nusantara sulit untuk diubah, terutama misi mengarabisasi Nusantara oleh kelompok Muslim puritan yang merasa paling unggul (supremasi), intoleran, keras, sedikit-sedikit mengklaim sesat dan mengkafirkan (takfiri), dan menentang Islam Nusantara yang dianggap sebagai Islam yang sesat.

Setidaknya Islam Nusantara menjadi garda terdepan dalam menghadapi kelompok yang semacam ini untuk menjaga budaya dan kesatuan NKRI.
Ali Mursyid Azisi

Artikel Terkait

2 komentar

  1. Barakallah pak gurušŸ˜Šsemoga bisa terus berkarya lagi

    BalasHapus
  2. Sangat memotivasi. Terimakasih artikel nya

    BalasHapus

Posting Komentar