Berbagai Macam Gaya Pendidik

Perkenankan saya berbagi kisah tentang kompetensi bidang pendidik yang ditemui dari beberapa instansi yang sudah dan sedang saya tempuh. Karena unik sekali, mengamati pendidikan yang ada ada di Indonesia. Meskipun pengalaman yang saya bagikan tidak serta merta mewakili semua karakter bidang pelajar dan pendidik tersebut.

Isu yang saya bahas mengenai gaya penyampaian dan karakter pendidik. Ada yang suka menyampaikan materinya dengan bercerita selayaknya orang tua yang sedang memberi nasihat kepada anaknya. Akan tetapi, tak semua murid dapat mencerna dan merespon baik apa yang disampaikan, selayaknya anak yang mendengar nasihat dari orang tuanya.

Murid mendengar bukan atas kemauannya sendiri. Limpahan aturan yang berlaku, menjadikan seorang anak dan murid terpaksa mendengar omelan dari orang tuanya.

Kenapa demikian? Sekali lagi, karena terdengar seperti paksaan, meskipun tidak semua menerima dengan hal tersebut. Tapi apalah daya, memberontak justru dicap sebagai anak yang nakal, murid yang tidak mengenal sopan santun.

Berbeda pula dengan gaya pengajaran pada instansi yang non formal, karena dalam aturannya, tata krama adalah hal terpenting yang diajarkan. Maka sebelum masuk dalam pembelajaran, anak-anak diajarkan bagaimana memperhatikan dengan mengingatkan posisi mereka sebagai murid dan guru. Selayaknya murid yang mendengar, kemudian guru yang menjelaskan.

Karakteristik tersebut seakan-akan memberi pesan kepada saya, bahwa gaya pengajaran tersebut telah menjadi tradisi lama. Masih banyak yang perlu ditinjau kembali agar ada korelasi murid dan guru membebaskan murid dengan cara kepahaman mereka menangkap proses pembelajaran.

Narasi lain dari seorang pendidik dalam bidangnya, yaitu mengajar dengan bertanya, melemparkan jawaban atas kemampuan pelajar yang mereka bisa. Berbagai tangkapan yang lucu, diam, takut, tekanan dan lain-lainnya.

Dua dampak yang diberikan kepada pelajar. Pertama, sikap menerima. Biasanya mereka berusaha untuk belajar di rumah sebelum pelajaran itu tiba, mengoreksi materi pembelajaran sebelumnya dan berinteraksi dengan diri sendiri di bawah tekanan "Aku harus bisa, jika tidak? Celakalah aku." Kedua, menolak dengan sikap mengacuhkan. Hal ini bisa dianggap wajar, dari beberapa aspek. Mereka menganggap sekolah bukan tempat untuk belajar, tetapi bermain dan bersenang-senang. Sekolah memberi mereka keluasan untuk berteman dengan orang-orang sebaya mereka. 

Pengalaman lain yang saya temui, yaitu model presentasi. Tetap saja, posisi seorang guru memang tidak bisa digoyahkan. Mereka yang telah mempunyai pengalaman, memposisikan mereka selayaknya orang yang baik untuk memberi nasihat. Memberikan arahan atas masalah yang telah dipaparkan. Pelajar dituntut bersikap berani menyampaikan materi, berdiskusi. Bukan seolah-olah mereka yang menguasai materi.

Inilah metode yang sering disalahartikan. Baik audiensi maupun pemateri tidak sebagai mereka yang ada di bawah dan di atas. Akan tetapi, merekalah yang membuat proses pembelajaran, maka sikap yang perlu dimiliki adalah keharusan saling menghargai.

Beragam sikap dan tanggapan atas proses pembelajaran adalah bentuk usaha menjadi insan yang lebih baik, menyalahkan proses dengan sistem baik gaya penyampaian maupun materi pembelajaran pun tidak akan menjadikan yang lalu berubah. Tetapi masa depan akan berubah dengan belajar atas kejadian yang telah berlalu.

Masalah demi masalah selalu ditemui dalam proses belajar, baik pelajar maupun dewan pengajar. Tidak bisa dipungkiri, manusia butuh pengalaman. Pengalaman itulah yang memberi pelajaran terhadap manusia. Maka mereka mencoba mengajarkan pengalaman tersebut kepada anak-anak, agar mereka tumbuh lebih baik, lebih siap dalam menghadapi kehidupan.

laaraibafiih_
Departemen Pengembangan Organisasi

Artikel Terkait

Posting Komentar